komunitas-pemikir

Selasa, 28 Desember 2010

Mari Bersyukur Setiap Waktu

Pernahkah Anda berpikir berapa kekayaan setiap orang jika dihargai dengan uang? Berapakah harga tubuh manusia jika diuangkan? Berapa harga mata, hidung, telinga, mulut, otak, kepala, lidah, tangan kaki dan apa saja yang menjadi bagian dari tubuh manusia jika dirupiahkan? Saat mata kita sehat, kita tak pernah berpikir betapa berharganya mata kita. Coba saja jika suatu ketika mata Anda, karena satu sebab kecelakaan tertentu, menjadi buta. Kebetulan Anda memiliki tabungan milyaran rupiah. Apa yang Anda lakukan? Anda pasti akan membayar berapa milyar pun untuk mengembalikan penglihatan Anda. Tak peduli jika untuk itu tabungan Anda terkuras nyaris habis. Saat tangan atau kaki kita sehat dan normal, kita pun mungkin jarang berpikir betapa bernilainya kedua anggota tubuh kita itu. Namun, pernahkah Anda membayangkan andai suatu saat, karena satu sebab musibah tertentu, tangan atau kaki Anda itu harus diamputasi? Pasti, jika kebetulan Anda orang kaya, Anda akan sanggup mengeluarkan ratusan juta atau bahkan milyar rupiah asal tangan atau kaki Anda tidak diamputasi dan kembali sehat serta  normal seperti sedia kala. Bagaimana pula jika satu sebab bencana tertentu wajah Anda yang ganteng/cantik tiba-tiba harus menerima kenyataan rusak parah tak berbentuk akibat terbakar hebat atau terkena air keras? Pasti, Anda pun dengan ikhlas dan rela akan melepaskan harta apa saja yang Anda miliki asal wajah Anda bisa kembali ganteng/cantik seperti sedia kala.
Sudah banyak bukti, orang-orang yang berpunya sanggup mengorbankan hartanya sebanyak apapun demi mengembalikan kesehatannya; demi sembuh dari penyakit jantung, kanker, kelumpuhan, kecacatan dll. Bahkan demi mengembalikan agar kulitnya menjadi kencang, atau agar keriput di wajahnya bisa hilang, banyak orang rela merogoh sakunya dalam-dalam.
Jika sudah demikian, semestinya kita sadar, betapa kayanya setiap diri kita; hatta jika secara materi kita bukan orang berpunya. Bukankah kita akan tetap mempertahankan mata atau hidung kita meski ada orang mau menawar dan membelinya seharga ratusan juta rupiah? Bukankah kita tak akan rela melepas jantung atau paru-paru kita walau ada orang berani menawarnya seharga semilyar rupiah? Bukankah kita tak akan sudi kehilangan tangan atau kaki kita meski untuk itu kita mendapatkan kompensasi harta yang melimpah-ruah? Bukankah kita pun tak akan pernah rela menyewakan nafas kita barang lima atau 10 menit meski harga sewanya jutaan rupiah? Sebab, kita amat paham, tidak bernafas lima atau 10 menit berisiko menjadikan kita mati lemas.
Belum lagi jika kita berusaha meneliti udara yang kita hirup saat bernafas. Pikirkan pula air yang kita minum; yang digunakan untuk mandi, mencuci, memasak; dll. Renungkan pula bumi yang kita pijak, sinar matahari yang menyinari setiap hari, air hujan yang turun ke bumi, sinar bulan yang menghiasai malam, jalanan yang kita lalui, pemandangan alam yang kita nikmati, dll. Bagaimana jika semua itu harus kita beli? Berapa ratus juta bahkan berapa puluh milyar rupiah uang yang harus kita keluarkan?
Namun, alhamdulillah, semua kekayaan dan kemewahan itu Allah berikan kepada kita secara cuma-cuma alias gratis! Tak sepeser pun kita dipungut oleh Allah SWT untuk membayar nikmat yang luar biasa itu. Amat pantaslah jika Allah SWT dalam Alquran surat ar-Rahman berkali-kali mengajukan pertanyaan retoris kepada manusia: Fa bi ayyi âlâ’i Rabbikumâ tukadzibân (Nikmat Tuhan manakah yang kalian dustakan)? Lebih dari itu, Dia-lah Tuhan Yang mengurus kita siang-malam tanpa pernah meminta upah secuil pun. Mahabenar Allah Yang berfirman (yang artinya): Katakanlah, “Siapakah yang dapat memelihara kalian pada waktu malam dan siang hari selain Zat Yang Maha Pemurah?”(TQS al-Anbiya’ [21]: 42).
Pertanyaannya: Sudahkah atas semua itu kita bersyukur? Ataukah kita malah sering berlaku sombong dan takabur?  Sudah berapa milyar kali hamdalah kita ucapkan untuk-Nya? Ataukah kita malah gemar berkhianat kepada-Nya? Na’udzu billah.
Semoga kita semua menjadi hamba Allah SWT yang selalu bersyukur setiap waktu atas segala karunia-Nya yang luar biasa itu, bukan hamba yang takabur apalagi kufur kepada-Nya. Paling tidak, hal itu dibuktikan dengan keseriusan dan ketekunan kita dalam beribadah dan ber-taqarrub kepada-Nya; dalam menaati segala titah-Nya; dalam mengorbankan apa saja untuk agama-Nya; serta dalam berjuang menegakkan akidah dan syariah-Nya demi kemuliaan Islam dan umatnya. Amin [] abi
*hizbut-tahrir.or.id
Diposting oleh taman2 pemkiran di 19.28 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Aborsi dan Seks Bebas Bakal Jadi Masalah Kesehatan di 2011

Jakarta, Maraknya artis beradegan mesum sepanjang tahun 2010 berdampak pada tren kesehatan reproduksi. Diperkirakan seks bebas dan aborsi akan meningkat tahun depan, disusul dengan peningkatan kasus HIV/AIDS dan infeksi menular seksual lainnya. Prediksi ini cukup beralasan, sebab di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini semua orang termasuk ‘anak baru gede’ (ABG) bisa mengakses internet dengan mudah. Tidak hanya di warung internet, kecanggihan perangkat telekomunikasi memungkinkan para ABG mengaksesnya di ponsel.
Dari situ para ABG akan mudah sekali bersinggungan dengan konten-konten berbau pornografi, termasuk video mesum para idola seperti Ariel Peterpan, Luna Maya dan Cut Tari. Keterlibatan para selebritas dalam adegan-adegan tidak senonoh itu memberi kesan seolah-olah siapapun bebas untuk berekspresi.
“Video Ariel ibarat kotak pandora yang terbuka. Sayangnya tidak berimbang, kotak pandoranya terbuka namun tidak ada guidance bagi para remaja,” ungkap Dr Phaidon L Toruan, MM, pakar hidup sehat saat dihubungi detikHealth, Rabu (29/12/2010).
Kurangnya guidance atau tuntunan ini menurut Dr Phaidon disebabkan karena pendidikan seks masih setengah hati, yang ada malah komentar-komentar selebritas lain yang kebanyakan kurang mendidik. Dampaknya, sebagian ABG yang secara psikologis masih labil ini akan mencontoh perilaku seks bebas yang dilakukan idolanya.
Kehamilan di luar nikah merupakan risiko yang mungkin akan dihadapi, lalu jika tidak siap maka para ABG akan mengambil jalan pintas yakni aborsi atau pengguguran kandungan dengan segala risikonya. Risiko lain yang selalu menyertai perilaku seks bebas tak lain adalah HIV/AIDS dan infeksi menular seks lainnya.
Sementara lanjut Dr Phaidon untuk jangka panjang, meningkatnya perilaku seks bebas di tahun 2011 akan memberikan dampak pada 5-10 tahun berikutnya. Pada periode tersebut, para ABG khususnya remaja putri akan merasakan dampak perilaku seks bebas dengan meningkatnya risiko kanker rahim.
“Faktor risiko kanker rahim para perempuan antara lain adalah hubungan seks di usia yang terlalu dini, apalagi berganti-ganti pasangan. Jika pernah pacaran hingga ML lalu putus, selalu ada kemungkinan ia akan melakukannya lagi dengan pacar barunya,” tambah Dr Phaidon.
Dr Phaidon menilai, meningkatnya kesadaran untuk menggunakan kondom di kalangan masyarakat belum bisa terlalu diharapkan. Meski pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah mengimbau, edukasi dari pihak swasta terutama perusahaan kondom dinilai akan lebih memberikan pengaruh. (detikhealth.com, 29/12/2010)
solusi untuk masalah ini adalah dengan menerapkan hukum islma secara kaffah, tanpa islam kehormatan manusia takkan pernah ada.
Diposting oleh taman2 pemkiran di 19.22 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Ruu Intelijen 2010: Bentuk Tirani Baru?

Oleh: Harits Abu Ulya, Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI Perpolitikan Indonesia memasuki babak baru dengan disetujuinya pembahasan Rancangan Undang-Undangan tentang Intelijen Negara pada program legislasi nasional 2011 oleh DPR (16/12). Dikatakan babak baru sebab, pertama, inisiatif RUU ini datang dari Dewan-bukan dari pihak yang berkepentingan langsung. Kedua, meski naskah akademisnya cukup lengkap, substansinya tidak jauh berbeda dengan RUU Intelijen yang pernah diajukan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) tahun 2006. Saat itu DPR menolak RUU tersebut.
Mungkinkah DPR dalam pengaruh eksekutif untuk meloloskan RUU tersebut? Ini perlu pendalaman. Yang pasti, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)-lah yang selama ini berteriak lantang dan ‘ngebet’ agar Indonesia memiliki UU Intelijen baru. Keinginan ini selalu disuarakan oleh Kepala BNPT Ansyaad Mbai. Alasannya, ada kelemahan intelijen khususnya dalam bidang pencegahan tindak terorisme. Karena itu, perlu ada penguatan legal frame (regulasi/UU) yang bisa menutupi kelemahan  tersebut. Selama ini intelijen dianggap kurang maksimal karena tidak ada kewenangan menangkap dan menginterogasi tersangka tindak pidana terorisme. Inisiatif Dewan tampaknya ‘nyambung’ dengan keinginan BNPT.
Persoalannya, seperti halnya draft yang lama, RUU ini mengandung pasal-pasal yang multitafsir dan berpotensi  melanggar  hak-hak sipil warga negara. Dengan berdalih keamanan nasional aparat intelijen bisa bertindak sewenang-wenang.
Multitafsir
RUU ini terdiri atas 10 bab, dengan 46 pasal. Mengacu kepada naskah akademiknya, terorisme adalah obyek yang  banyak menjadi diskursus. Dan isu serta kasus “terorisme” dijadikan basis argumentasi untuk mengonstruksi UU yang lebih efektif.
Poin-poin krusial yang perlu dikritisi di antaranya terkait wewenang khusus yang diberikan kepada aparat intelijen. Seperti yang tertuang dalam Pasal 31 Bab VI;
(1)   Selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), lembaga koordinasi intelijen negara memiliki wewenang khusus melakukan intersepsi (penyadapan, pen.) komunikasi dan pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat untuk membiayai terorisme, separatisme, dan ancaman, gangguan, hambatan, tantangan yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2)   Intersepsi komunikasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diperlukan dalam menyelenggarakan fungsi intelijen.
(3)   Dalam memeriksa aliran dana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), lembaga koordinasi intelijen negara dapat meminta bantuan kepada Bank Indonesia, PPATK, lembaga keuangan bukan bank, dan lembaga jasa pengiriman uang.
Penjelasan terkait RUU itu menyebutkan:
Ayat (1); Dalam UU ini wewenang khusus melakukan intersepsi komunikasi dilakukan  tanpa melalui Penetapan Ketua Pengadilan. Dan yang di maksud dengan  melakukan “intersepsi komunikasi” antara lain melakukan kegiatan penyadapan telepon dan faximile, membuka e-mail, pemeriksaan surat, pemeriksaan paket.
Pasal tersebut berpotensi melahirkan tindakan yang akan mengurangi hak sipil warga hanya karena alasan atas nama dan demi keamanan negara. Mengapa? Minimal ada beberapa hal penting yang perlu dicatat.
Pertama, kewenangan khusus ini bisa nyaris tanpa kontrol karena tidak perlu lagi adanya penetapan dari pengadilan. Aspek ini membuka peluang lebar-lebar  penyalahgunaan kewenangan dan seluruh fasilitas dari institusi atau personel intelijen.  Pasti berdasarkan ketentuan ini, intelijen akan menuntut otonomi penuh untuk mengatur sendiri penyadapannya. Hal ini akan mengangkangi hak asasi warga negara dan supremasi hukum.
Kedua, tafsiran terhadap obyek yang dianggap bagian dari terorisme, atau ancaman, gangguan dan hambatan yang dianggap mengancam NKRI sangat ambigu. Tafsir yang berkembang biasanya sangat subyektif, tergantung kepada pemangku kewenangan. Di sinilah mindset seseorang berdasarkan paradigma tertentu akan menjadi penentu. Ditambah lagi, secara global hingga kini belum ada konsensus tentang definisi terorisme yang disepakati.
Ketiga, jika poin satu dan dua di atas tidak teruai, tidak ada jalan keluar yang elegan maka  Pasal  31 ini akan menjadi sumber lahirnya monster yang bernama “state intelijen”.  Setiap warga bisa berpotensi menjadi obyek penyadapan jika dianggap membahayakan NKRI dengan segala tafsiran dan argumentasinya tentang “bahaya” dan “ancaman”.
Keempat, kewenangan penindakan atau penangkapan bagi intelijen melahirkan overlapping dengan kewenangan institusi penegak hukum yang semestinya. Jika hal ini dipaksakan maka akan melahirkan tirani dan kedzaliman baru.
Kelima, tidak ada bentuk dan mekanisme kontrol yang jelas terhadap kerja intelijen. Siapa yang bisa berhak mengontrol mereka? Institusi tanpa kontrol akan melahirkan kesewenang-wenangan terhadap rakyat. Sudah cukup banyak contoh lembaga di negara ini, meski sudah dikontrol pun masih menyalahgunakan kewenangan, apalagi tidak ada kontrol.
Memang, tidak ada negara tanpa intelijen. Tapi yang perlu diingat, fungsi intelijen bukan untuk memusuhi warga negaranya. Intelijen juga bukan menjadi alat untuk kepentingan politik tertentu, apalagi intelijen digunakan untuk memberangus setiap pihak (individu atau kelompok) yang dianggap mengancam status quo. Masa rezim Orde Baru cukup menjadi pengalaman pahit bagi umat Islam. Umat Islam ‘dikuyo-kuyo’. Bahkan darah mereka tertumpah menjadi tumbal bagi kepentingan status quo, dengan delik bahwa umat Islam menjadi ancaman stabilitas keamanan dan politik, padahal hanya karena berbeda pandangan terhadap mainstream yang ada.
Inilah yang perlu diwaspadai. Lahirnya UU Intelijen Negara tidak boleh menjadi alat menggencet  dan mengeliminasi Islam dan kaum Muslimin melalui  bendera “War on terrorism”. Fakta menunjukkan, sebagian pihak tak lagi obyektif memandang persoalan terorisme di Indonesia. Ada proses generalisasi terorisme terhadap seluruh umat Islam, tidak dilihat kasus per kasus. Ini yang sangat berbahaya bagi kehidupan umat Islam ke depan.
Sekilas Hukum Penyadapan
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 di Asrama Haji Sudiang, Makasar, Sulawesi Selatan, (25/3/2010) membahas masalah ini. Nu menetapkan mengintip dan mengintai pembicaraan orang lain melalui sadap telepon adalah tidak boleh atau haram. “Hukum (penyadapan telepon, Red) itu tidak boleh, kecuali kalau untuk kepentingan penegakan hukum dan benar-benar ada gholabatuzh zhan (dugaan kuat) melakukan maksiat atau pelanggaran aturan,” kata KH Saifuddin Umar, Ketua Tim Materi Bahsul Masail Diniyah Waqiiyah NU.
Penyadapan telepon merupakan kasus yang “lazim” dalam arena dan pertarungan politik di negara-negara demokrasi modern. Dalam kasus di sejumlah negara, penyadapan telepon dilakukan aparat pemerintah terhadap pesawat-pesawat telepon milik politisi dan wartawan terkemuka di negeri-negerinya. Ini biasanya dilakukan untuk mengontrol aktivitas para politisi dan wartawan. Kasus bocornya dokumen-dokumen oleh Wikileaks mengungkap aktifitas ini.
Secara fakta, penyadapan telepon tidak lain untuk mengetahui isi pembicaraan rahasia antara dua orang yang sedang menelepon. Tindakan ini dapat dikategorikan mata-mata atau spionase atau tajassus.  Tajassus, menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab As Syakhshiyyah al Islamiyyah Juz 2 hal 211, adalah kegiatan menyelidiki atau mengusut suatu kabar untuk menelitinya lebih lanjut. Selain kegiatan spionase oleh badan intelejen, tajassus bisa terjadi pada wartawan yang melebihi tugasnya sebagai reporter (pengumpul dan penyebar berita), yakni melakukan investigasi untuk mendapatkan laporan-laporan yang sensasional. Termasuk dalam hal ini adalah apa yang dilakukan oleh paparrazi yang mencuri-curi momen-momen rahasia untuk difotonya.
Secara hukum Islam, kegiatan tajassus memiliki hukum sesuai dengan fakta kegiatannya. Jika aktivitas itu ditujukan kepada kaum Muslimin, baik rakyat maupun penguasa, hukumnya haram. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prangsangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian melakukan tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain)…” (QS. Al Hujurat 12).
Menurut Imam As Shaabuni dalam tafsirnya Shafwatut Tafaasiir Juz 3 hal 218, kalimat “walaa tajassasuu” berarti janganlah mencari-cari aurat (rahasia) kaum Muslimin dan jangan memonitor aib-aib mereka. Ketika ditanya tentang kejadian menetesnya khamer (minuman keras) dari jenggot seorang yang bernama Walid bin Uqbah bin Abi Mu’ith, Ibnu Mas’ud r.a. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Abi Syaibah mengatakan: “Kita dilarang melakukan tajassus, jika sesuatu telah nyata bagi kita, kita akan ambil (atasi)” (lihat Imam Az Zamakhsyari, Tafsir Al Kasysyaf Juz 4 hal 363).
Larangan tajassus terhadap kaum Muslimin dalam ayat di atas bersifat umum, berlaku bagi perorangan, kelompok, maupun negara. Baik tajassus itu dilakukan untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Hukum larangan tajassus terhadap kaum Muslimin itu berlaku pula terhadap warga negara non Muslim (kafir dzimmi). Sebab, seorang kafir yang tunduk kepada negara Islam dan berstatus sebagai warga negara yang dilindungi, terhadapnya berlaku seluruh hukum Islam kecuali hukum-hukum yang berkenaan dengan aqidah dan ibadah, dan masalah tajassus ini tidak termasuk dalam hal itu (An Nabhani, idem, hal 212).
Namun jika sasaran tajassus adalah negara lawan atau warga negaranya yang statusnya adalah orang kafir harbi (baik kafir musta’min maupun kafir mu’ahid) yang memasuki negeri-negeri Islam atau berada di negeri mereka sendiri, maka tajassus terhadap mereka hukumnya boleh (jaiz) dilakukan oleh kaum Muslimin dan negara. Seperti dalam kasus Rasulullah SAW pernah mengutus serombongan pasukan yang dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy dengan membawa surat yang isinya adalah: “Jika anda melihat suratku ini, maka berjalanlah terus hingga sampai ke kebun korma antara Makkah dan Thaif, dari situ intailah orang-orang Quraisy dan sampaikanlah kepada kami informasi tentang mereka”.
Mengingat, kegiatan tajassus merupakan perkara yang harus dilakukan oleh tentara kaum Muslimin dalam rangka jihad fi sabilillah menghadapi tentara musuh, dan tidak sempurna struktur angkatan bersenjata kaum Muslimin tanpa adanya badan pelaksana kegiatan tajassus (intelejen maupun kontra intelejen), maka pembentukan badan intelejen untuk angkatan bersenjata hukumnya wajib atas negara khilafah. Ini berdasarkan kaidah syara: “Tidak sempurna suatu kewajiban tanpa adanya sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib”.
Kesimpulannya, tajassus tergantung obyeknya. Jika targetnya kaum Muslimin, maka haram. Apapun alasannya. Bahkan jika dikhawatirkan rakyat (atau aktivis) melakukan perbuatan makar. Penanganan terhadap mereka cukup dengan polisi yang menjaga ketertiban umum dan mengambil tindakan untuk aktivitas yang nyata melanggar hukum. Namun jika sasarannya adalah pihak asing yakni warga maupun staf kedubes negara adikuasa yang ingin menguasai kaum Muslimin, maka hukumnya justru  wajib atas negara dan petugas intelejen negara.[]
Diposting oleh taman2 pemkiran di 19.15 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Republik Bola dan Berhala Nasionalisme

Oleh: A. Baedlowi (Alumni Ponpes Al Huda Oro-oro Ombo Madiun)
Kemenangan Tim Garuda atas tim Philipna dalam laga sepakbola piala AFF Suzuki 2010 benar-benar menyihir para bola mania tanah air. Aneka tingkah polah soporter tampak dari atribut, dan dandanan ala hooligan Inggris juga mewarnai euporia kemenanngan tersebut.
Kemenangan tersebut dinyatakan oleh Presiden SBY sebagai bukti bahwa Indonesia bisa mengubah keadaan apabila bersatu dan bersama-sama berjuang dengan tidak saling menyalahkan satu sama lain.
Sepak bola, bagi Presiden, adalah salah satu wahana pemersatu bangsa di tengah dinamika demokrasi yang terkadang memang wajar memunculkan benturan elit politik baik di tingkat daerah maupun pusat. Sedangkan menurut Abu Rizal Bakri, “Sepak bola telah terbukti bisa membangkitkan rasa nasionalisme, membangkitkan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia yang kadang-kadng turun naik,” (Antara).
Bahkan demi kebanggan tersebut keluarga besar Bakrie hari ini memberikan hibah tanah seluas 25 hektar kepada PSSI,” kata Sekjen PSSI Nugraha Besoes saat pertemuan timnas, pengurus PSSI dengan keluarga besar Bakrie di kediaman Aburizal Bakrie di Jakarta, Senin. (Antara). tanah berlokasi di Jonggol Jabar tersebut akan dibangun pusat pelatihan PSSI lengkap dengan prasarananya.
Tempat ini akan menjadi “base camp” PSSI. Andai saja keluarga Bakrie menghadiahkan tanah itu kepada warga korban Lapindo dimana hingga kini PT Minarak Lapindo belum juga mau melunasi kewajibannya yakni ganti rugi tanah yang dituntut oleh warga Siring Sidoarjo.
Sementara Presiden SBY pernah meyakinkan kepada warga Lapindo bahwa keluarga Bakrie pasti melunasinya karena kekayaannya yang melimpah. Tapi mereka sepertinya telah kehabisan air mata dan kehilangan harapan untuk mendapatkan hak-haknya.
SBY agaknya menyadari berbagai ekses proyek demokratisasinya. Dan Sepak Bola tampaknya dipilih sebagai ‘solusi’ untuk mempersatukan rakyat dan elit dari segala bentuk konflik politik. Jadi untuk sementara waktu para elit maupun gras root harus melupakan jejak rekening gendut, skandal century, korban Merapi-Mentawai, Lumpur Lapindo, bocoran kawat Wikileaks dan rencana pencabutan subsidi (baca: kenaikan) BBM. Lebih Ironis bak orchestra tanpa seorang dirigen, media massa juga ikut tersihir.
Mereka berlomba-lomba menjadikannya sebagai head line news. Bahkan reportase sejumlah staisun TV seratus persen berisi berita ulasan aksi-aksi individu para pemain naturaliasi.
Menjadi Republik Bola
Italia, Brasil, dan Argentina dapat dikatakan mewakili profil Republik Bola. Di tengah kemiskinan, pengangguran yang tinggi, dan kebodohan masif, anak bangsa Republik Bola melihat bintang sepak bola sebagai obsesi hidupnya. Lalu para Kapitalis pun menemukan lahan empuk ini sebagai intertainment industry untuk mendulang banyak dollar.
Di saat begitu tingginya kompetisi hidup, anak-anak gras root hanya melihat satu-satunya jalan instan meraih sukses adalah menjadi bintang bola dan artis. Walhasil para dhu’afa di negeri ini pun yang masa depannya suram lebih memilih mengadu nasib di club-club Liga Nasional daripada meraih gelar sarjana yang tak terjangkau biayanya.
Rakyat di Republik Bola memiliki kesadaran politik (tentang hak dan kewajiban rakyat) yang teramat rendah. Sebagai contoh, di Italia hari ini jelas-jelas di pimpin oleh seorang Silvio Borlusconi politisi korup dan sangat doyan zina. Kemampuanya menduduki kursi Presiden tak lepas dari perannya dalam bisnis Club SepakBola negeri Azuri ini.
Begitu pula di Brasil dan Argentina setali tiga uang. Situasi yang sama segera menyusul di negeri tercinta ini. Baru saja ICW melaporkan sepuluh tersangka korupsi berhasil menjadi Kepala Daerah. Mengapa, soalnya rakyat Republik bola tak terlalu paham poltik.
Kebodohan politik dimanfaaatkan kaum oponturir politk membeli suara mereka. Cukup dengan merogoh kocek sepuluh ribu, mereka membeli suaranya. Sebab mereka hanya butuh untuk makan dan membeli tiket bola.
Akibatnya politisi korup menikmati sikap cuek bebek rakyatnya. Jurus Wirosableng 212 — 2 tahun pertama kembalikan modal, hanya 1 tahun untuk membangun dan 2 tahun sisanya bkin proyek-proyek untuk curi star kampanye jabatan keduanya — dipakai untuk menaklukkan konstituenya. Ya sungguh mengenaskan!
Kebanggaan Semu
Ketum Partai Demokrat mengomentari kemenangan itu sebagai modal untuk memupuk rasa kebanggaan bangsa Indoensia. “Sepak bola telah terbukti bisa membangkitkan rasa nasionalisme, membangkitkan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia yang kadang-kadng turun naik,” kata Ical.
Sementara itu, kata Presiden kemenangan itu adalah wujud persatuan, dimana diharapkan dapat menjadi tradisi dan dibudayakan sehingga rakyat Indonesia bisa berbangga terhadap negerinya. Jadi begitu sederhananya makna nasionalisme di negeri ini. Tidakkah ada kebanggaan yang lebih hebat dibandingkan sekedar prestasi olah raga.
Tidaklah mengherankan mereka membuang kebanggaan nasional yang hakiki dengan menjual industry strategis itu kepada pihak asing. Indosat melayang, Krakatau Steel dan industry semen nasinal dijual, Pertamina tidak dipercaya mengelola blok Cepu, Natuna pasca kedatangan Obama diserahkan ke Exon, dan Telkom dan PLN pun segera menyusul.
Pada rezim sebelumnya karena desakan IMF, IPTN dibubarkan, Gas Tangguh diobral murah dan Kapal Tangker dilego. Para elit berkonspirasi menikmati hasil penjualan industry strategis di atas. Sementara rakyat dininabobokan dengan hingar bingar permainan si kulit bundar itu.
Atas ‘prestasi’ tersebut mereka masih saja mengklaim sebagai pembela slogan demi menjaga NKRI dan Pancasila. Sedangkan para pejuang Syariah ikhlas harus siap mendpatkan stigma negatifi sebagai kelompok radikal pengusung ideology transasional yang membahayakan NKRI.
Sesungguhnya nasionalisme (qaumiyah) yang bekembang saat ini merupakan perwujudan ashobiyah jahiliyyah. Ashobiyyah dipicu oleh dorongan naluri mempertahankan diri (survival instink) yang lahir dalam bentuk ambisi cinta kekuasaan (hubbub as-siyadah) dan rasa ingin memiliki (hubb attamalluk).
Naluri ini juga diciptakan oleh Allah SWT kepada sekawan gajah dan harimau. Ikatan berdasarkan qaumiyah adalah ikatan yang derajatnya paling rendah, menjijikkan dan hina. Ia juga berwatak emosional dan temporal.
Di era jahiliyah orang-orang Quraisy terbiasa menunmpahkan darah sesama mereka hanya gara-gara unta dan perempuan. Di abad modern lahirlah nazisme Hitler dan Fasisme Mussolini. Sekarang Hologinisme dan fenomena bonek juga hadir karena fanatisme sporter bola.
Contoh lain dalam kasus konfrontasi Indo-Malaisya, penganut faham nasionalis juga lebih peduli membela sengketa soal batik dan reyog daripada menjaga persaudaraan Islam antar bangsa Melayu.
Penutup
Rasulullah mengingatkan dengan ungkapan LAISA MINNA MAN DA’A, WA MAN QATALA, WA MAN MATA, ‘ALA ‘ASHOBIYATIN (Bukan termasuk golongan kami, barang siapa yang menyeru, berperang dan mati membela ‘ashobiyah). Belia juga memperingatkannya FAINNAHU MUNTANITUN (sesungguhnya slogan jahiliyyah itu menjijikkan).
Maka hendaklah kita mencamkan wasiat Shahabat Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu: “Ikatan Islam akan lepas satu persatu bila di kalangan Umat Islam timbul sebuah generasi yang tidak paham dengan jahiliyyah” (Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Al-Fawaid, hal. 143).
Sebagai penutup marilah kita renugkan kata-kata hikmah Al hafid ibn ‘Abd Al Barr Al Andalusy:
“Wahai saudaraku, sesungguhnya di antara laki-laki itu berujud binatang…..dalam bentuk seorang laki-laki yang mendengar dan melihat….cerdas pada setiap musibah yang menimpa hartanya….namun, jika agamanya ditimpa musibah ia tidak pernah merasa…
Jadi kalau soal bola kemenangan menjadi kebanggan dan kekalahan adalah mushibah besar. Sementara berita maraknya pornografi, free sex di kalangan remaja, penjualan BUMN, legalisasi kaum homo, syariat Islam malah dianggap melanggar HAM, dan maraknya aliran sesat dibiarkan angin lalu. Wallahu A’lam.
Sumber: eramuslim.com
Diposting oleh taman2 pemkiran di 19.09 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Selasa, 21 Desember 2010

Sikap Berlebihan Sebagian Umat Islam Terhadap Natal dan Tahun Baru Merusak Akidah

Siapa yang semestinya menjadi saudara bagi kaum Muslim? Orang kafirkah atau kaum Mukmin sendiri? Kepada siapa sebenarnya loyalitas kaum Muslim diberikan? Lalu mengapa kepada kaum Kafir bekerjasama sedangkan sesama muslim saling tendang menedang? Menyedihkan. Kondisi umat saat ini berada pada taraf berfikir ummah rendah yang mengakibatkan identitas dan kemuliaan Islam dan kaum Muslim pun pudar. Seperti ikut perayaan Natal Bersama. Hal ini tak pernah terjadi sebelumnya, melainkan setelah Islam sebagai way of life diinjak-injak dan institusi Khilafah Islam diporakporandakan. Padahal, Rasulullah Saw dan para sahabatnya telah memberikan contoh bagaimana menunjukkan kemulian dan kewibawaan Islam dan kaum Muslim. Mereka tidak pernah mempermainkan akidah islam apalagi menjualnya dengan harga yang murah. Berbeda dengan saat ini, kaum Muslim seolah tak berdaya menunjukkan kemuliaan Islam dan kaum Muslim sendiri.

Sangat disayangkan masih ada diantara kaum Muslim yang kabur dalam persoalan ini. Seperti diungkapkan oleh Komandan Satkornas Banser, H. Tatang Hidayat saat menyiapkan barisannya untuk ikut mengamankan Natal dan Tahun Baru yang berkata, "Kita berupaya memberikan rasa aman bagi saudara kita yang akan melaksanakan ibadah di hari Natal.

Benarkah posisinya seperti itu? Terlalu berlebihan, padahal sudah jelas, yang semestinya menjadi saudara bagi kaum Muslim adalah kaum Muslim sendiri. Justru semestinya kaum Muslim mendakwahi dengan mengajak berfikir tentang kerusakan akidah mereka dan menunjukkan pada mereka kepada akidah yang benar. Juga sangat berlebihan dengan pengamanan natal atau gereja yang menimbulkan kesan bahwa sebagian umat Islam itu cikal bakal ketidakamanan dan selalu melakukan teror, padahal Islam sama sekali telah melarang melakukan tindakan kekerasan seperti perusakan fasilitas umum. Hingga setiap natal, Gereja pun musti diamankan, bahkan oleh sebagian elemen Islam lagi. Jelas ini akan memberikan kesan dan citra buruk negatif terhadap Islam. Bukankah Rasulullah Saw. senantiasa berdakwah dengan mengajak berfikir pada orang kafir? Lalu mengapa kesan semacam itu dimunculkan?

Natal dan Tahun Baru benar-benar telah menjadi perayaan baru bagi kaum Muslim di negeri ini. Bahkan kaum Muslim sibuk ikut-ikutan berpartisipasi dalam perayaan agama lain mulai dengan sekedar mengucapkan selamat, penggunaan aksesoris hingga ikut dalam Natal Bersama atau perayaan Tahun Baru. Padahal sudah jelas, Natal dan Tahun Baru bukanlah berasal dari akidah Islam. Ikut merayakan Natal Bersama sudah jelas keharamannya. Tentu ini akan merusak akidah kaum Muslim.

Memang saat ini berbagai upaya interfaith atau dialog antar agama terus digulirkan. Tujuannya tiada lain untuk memposisikan agama Islam itu tidak jauh berbeda dengan agama lainnya. Targetnya, kaum Muslim tidak perlu menyuarakan ajaran Islam secara keseluruhan demi toleransi. Akibatnya tak sedikit kaum Muslim memandang Islam sebatan ritual belaka. Akidah dan Syariat Islam yang sempurna tak perlu diungkapkan secara tegas dan lugas, karena khawatir merusak toleransi. Padahal seharusnya kaum Muslim melakukan dakwah kepada non-Muslim tersebut.

Demikianlah kondisi yang menyedihkan lagi-lagi menimpa umat Islam. Setelah sebelumnya, menyedihkan bagi kaum Muslim karena berhari raya pada dua hari yang berbeda yang tak pernah terjadi sebelumnya kecuali setelah ide nasionalisme mencengkram benak umat. Padahal semestinya pada hari itulah seharusnya kaum kaum Muslim bersatu dan menjadikannya sebagai hari Raya di samping Idul Fitri. Sekarang kaum Muslim malah sibuk dalam perayaan dan peribadatan non Muslim tersebut.

Ini semua disebabkan salah satunya ketika Islam tidak dijadikan sebagai ideologi, yakni jalan hidup yang memiliki akidah dan syariat yang lengkap. Ditambah lagi dengan tidak adanya institusi penjaga akidah dan syariah Islam tersebut membuat pudarnya kemuliaan dan kewibawaan Islam dan umatnya.

Kaum Muslim semestinya kembali kepada tuntutan syariat. Bersikap seperti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Di mana mereka senantiasa tegas berhadapan dengan kaum kafir dan juga mendakwahkan Islam kepada mereka. Tidak seperti saat ini, yang tidak tegas berdakwah atau mengajak mereka untuk masuk ke dalam Islam.

Hanya khilafah yang akan membawa kembali kemuliaan bagi kaum Muslim sehingga menempatkan kembali loyalitas mereka hanya untuk Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukmin dan bukan untuk kaum Kafir. Untuk itu, kaum Muslim sudah menjadi kewajiban untuk mengembalikan kembali kemulian Islam dan umatnya dengan berjuang demi tegaknya syariah di bawah payung bendera Rasulullah Saw. laa ilaaha illallah muhammad rasulullah. Kapan? Tentu saat ini, sebelum ajal tiba. Insya Allah! [opini/syabab.com]
Diposting oleh taman2 pemkiran di 02.37 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tahun Baru: Budaya Kufur dan Sampah!


Syabab.Com - Moment pergantian tahun begitu sangat dinantikan oleh setiap orang. Tak jarang diantara mereka yang menyambutnya dengan berpesta ria, meniup terompet didetik-detik terakhir pergantian tahun dan lain-lain. Seakan moment tahun baru merupakan moment istimewa yang tak boleh terlewatkan. Sebelum saya melanjutkan penjelasan kenapa perayaan tahun baru adalh budaya kufur dan sampah. Kita simak sejarahnya terlebih dahulu. Sejarah dan Cara Merayakan di Masa Lampau
  
Tahun baru adalah suatu perayaan yang menandakan berakhirnya masa satu tahun dan menandai dimulainya hitungan tahun selanjutnya. Kalender Romawi kuno menggunakan tanggal 1 Maret sebagai Hari Tahun Baru. Belakangan, orang Romawi Kuno menggunakan tanggal 1 Januari sebagai awal tahun yang baru. Pada Abad Pertengahan, kebanyakan negara-negara Eropa menggunakan tanggal 25 Maret, hari raya umat Kristen yang disebut Hari Kenaikan Tuhan, sebagai awal tahun yang baru. Hingga tahun 1600, kebanyakan negara-negara Barat telah menggunakan sistem penanggalan yang telah direvisi, yang disebut kalender Gregorian.
Kebanyakan orang di masa silam memulai tahun yang baru pada hari panen. Mereka melakukan kebiasaan-kebiasaan untuk meninggalkan masa lalu dan memurnikan dirinya untuk tahun yang baru. Orang Persia kuno mempersembahkan hadiah telur untuk Tahun Baru, sebagai lambang dari produktivitas.
Orang Romawi kuno saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Bulan Januari mendapat nama dari dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang). Orang-orang Romawi mempersembahkan hadiah kepada kaisar.
Para kaisar lambat-laun mewajibkan hadiah-hadiah seperti itu. Para pendeta Keltik memberikan potongan dahan mistletoe, yang dianggap suci, kepada umat mereka. Orang-orang Keltik mengambil banyak kebiasaan tahun baru orang-orang Romawi, yang menduduki kepulauan Inggris pada tahun 43 Masehi.
Pada tahun 457 Masehi gereja Kristen melarang kebiasaan ini, bersama kebiasaan tahun baru lain yang dianggapnya merupakan kebiasaan kafir. Pada tahun 1200-an pemimpin-pemimpin Inggris mengikuti kebiasaan Romawi yang mewajibkan rakyat mereka memberikan hadiah tahun baru. Para suami di Inggris memberi uang kepada para istri mereka untuk membeli bros sederhana (pin). Kebiasaan ini hilang pada tahun 1800-an, namun istilah pin money, yang berarti sedikit uang jajan, tetap digunakan. Banyak orang-orang koloni di New England, Amerika, yang merayakan tahun baru dengan menembakkan senapan ke udara dan teriak, sementara yang lain mengikuti perayaan di gereja atau pesta terbuka.
Sekalipun tahun baru juga merupakan hari suci Kristiani, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Amerika. Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang menerikkan “Selamat Tahun Baru” dan menyanyikan Auld Lang Syne.
  
Menurut Syariah       
Benarkah tahun baru harus kita sambut dengan sepesial? Semisal saling mengucapkan ucapan selamat, lewat lisan atau tulisan yang kita tulis di kartu ucapan tahun baru. Sedemikian istimewakah makna tahun baru bagi umat manusia? Coba perhatikan pernyataan Al Imam Ibnu Tammiyah radhiaallahu anhu. Adapun mengucapkan selamat terhadap syiar-syiar keagamaan orang-orang kafir yang khusus bagi mereka, maka hukumnya haram menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat terhadap hari-hari besar mereka dan puasa mereka, seperti mengucapkan semoga hari besar ini diberkahi atau ucapan semisalnya dalam rangka hari besar tersebut.
Sedang Umar bin Khatab ra berkata, terkait dengan momentum tahun baru Masehi atau hari-hari besar lain yang merupakan hari-hari besar orang-orang Yahudi dan Nasrani. “Janganlah kalian mengunjungi kaum Musyrikin di gereja-gereja ( rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka, karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka” (HR. Al Baihaqi, no:18640)
“Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka” (HR.Ibid. no:18641)
Dari kedua hadist tersebut, jelaslah sudah kalau mengucapkan selamat atau ikut serta dalam merayakan hari-hari besar kaum musyrikin (Tahun baru, Natal,Valentine,dll) hukumnya haram dilakukan oleh umat Islam. Karena moment tahun baru atau moment-moment lainnya merupakan pencampuradukan antara Al Haq dan kebathilan. Yang lebih banyak nilai mudharatnya, ketimbang sisi positifnya. Selain kufur, perayaan tahun baru juga menghabiskan banyak uang dan perilaku hura-hura semisal sex, ugal-ugalan dijalan dan hal ini lah yang menunjukkan akan budaya sampah.
Sebagai umat Islam tentunya kita harus konsisten terhadap keyakinan/akidah yang kita anut, karena sesungguhnya merayakan momen tahun baru itu bukanlah budaya Islam, jadi janganlah sekali-kali terpengaruh dan mengadopsinya menjadi bagian dari budaya kaum muslimin.
“Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran." (TQS. Al-Baqarah [2]:109)

Coba perhatikan ayat tersebut ! Sesungguhnya, moment tahun baru itu salah satu tipu muslihat orang-orang musyirikin untuk menyesatkan kaum muslimin dari jalan kebenaran, jalan yang penuh dengan cahaya rahmat dan karunia-Nya. Karena sejatinya, kaum musyirikin itu mengetahui kalau agama Islam adalah agama yang rahmatan lil’alamin, sehingga hati mereka menjadi dengki dan berusaha mengembalikan keyakinan kaum muslimin pada kekafiran agar jauh dari cahaya Allah.
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan mengembalikanmu kebelakang ( Kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang merugi.” (TQS. Ali Imron [3]: 149)
Berdasarkan penjelasan diatas, terlihat sudah bahwa tahun baru adalah bagian dari perayaan orang kufur. Namun sayang, umat islam saat bagaikan bebek yang sekedar mengikut. Justru seharusnya, kita sebagai umat yang terbaik sebagaimana yang dijanjikan Allah SWT di dalam ayat suci menjadi culture leader yang menciptakan agar mereka (orang kufur) mengikuti budaya kita (Islam). Tentunya, tak ada seorang pun diantara kita yang ingin menjadi orang yang merugi dan amal  ibadahnya tertolak oleh Allah Swt. Kalau demikian, mari bersama-sama bersiaga dalam menghalau datangnya budaya kaum musyirikin yang mereka proklamirkan lewat liberalisme, modernitas dan premisivisme budaya.
Lebih baik pada tahun baru 2010, kita jadikan sebagai momen untuk menuju perubahan dan kemulian diri dan kemulian kaum muslimin. [can/syabab.com]
Diposting oleh taman2 pemkiran di 02.26 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Mengoptimalkan Peran Ibu Rumah Tangga


Oleh : Reta Fajriah
(Pemerhati Masalah Keluarga)


كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، اْلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

Masing-masing kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang istri pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab atas kepemimpinannya…(HR al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw. telah menetapkan tanggung jawab terhadap laki-laki (suami) dan perempuan (istri) dalam kapasitas sebagai pemimpin yang berbeda di dalam sebuah keluarga. Suami sebagai pemimpin bertugas mengendalikan arah rumah tangga serta penjamin kebutuhan hidup sehari-hari—seperti makanan, minuman dan pakaian—serta bertanggung jawab penuh atas berjalannya seluruh fungsi-fungsi keluarga. Adapun istri berperan sebagai pelaksana teknis tersedianya kebutuhan hidup keluarga serta penanggung jawab harian atas terselenggaranya segala sesuatu yang memungkinkan fungsi-fungsi keluarga tersebut dapat dicapai. Berjalan-tidaknya fungsi-fungsi keluarga secara adil dan memadai merupakan indikasi tercapai-tidaknya keharmonisan dalam keluarga. Namun, ibarat mengayuh perahu, keduanya harus saling kompak dan bekerjasama agar biduk rumah tangga tidak terbalik. Fungsi-fungsi keluarga yang dimaksud adalah fungsi reproduksi (berketurunan), proteksi (perlindungan), ekonomi, sosial, edukasi (pendidikan), afektif (kehangatan dan kasih sayang), rekreasi, dan fungsi reliji (keagamaan).
Tugas utama serang istri secara umum ada dua: (1) sebagai Ibu, yang berkaitan langsung dengan pemenuhan fungsi reproduksi serta fungsi edukasi; (2) sebagai pengatur rumah tangga, yang berkaitan dengan pemenuhan fungsi-fungsi keluarga yang lainnya.

Beberapa Tuntunan
Pertama: Dalam pandangan Islam, tujuan dari pernikahan tidak hanya sekadar memiliki keturunan, tetapi juga bagaimana menjadikan keturunan kelak menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa (Lihat: QS al-Furqan [25]: 74). Agar terwujud, sudah pasti sang pemimpin terlebih dulu harus menjadi orang yang bertakwa. Untuk itulah, Islam telah memberi tuntunan agar mendapat keturunan yang baik dengan cara mempersiapkannya seawal mungkin, yaitu sejak sang ayah dan ibu berikhtiar untuk mendapatkan keturunan. Allah Swt. telah mensyariatkan adanya doa sebelum berhubungan intim, selanjutnya melakukan pendidikan terhadap anak mulai dari masa kandungan hingga anak mencapai usia balig.
Pendidikan adalah sebuah proses yang berkesinambungan hingga dapat mengantarkan anak memasuki usia balig dalam kondisi siap untuk menerima segala bentuk pembebanan hukum syariah saat dewasa. Di samping itu, anak perlu dibekali dengan keterampilan hidup yang memungkinkan baginya untuk bisa eksis dalam mengarungi kehidupan ini. Untuk itulah seorang Ibu dituntut agar memiliki kemampuan mendidik anak, baik dari sisi konsep maupun teknis pelaksanaan berikut pembiasaan dalam keseharian anak.
Kedua: Seorang istri berperan mengelola rumah tangganya agar tercapai keharmonisan di dalam keluarga. Dalam hal keuangan, istri diharapkan dapat mengatur sedemikian rupa nafkah yang diberikan oleh suami agar mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi jika penghasilan suami tidak seberapa besar. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyusun daftar rencana pemasukan dan pengeluaran dalam satu bulan, dengan prioritas pengeluaran yang dianggap paling penting. Jika kebutuhan hidup masih belum mencukupi, dengan izin suami seorang istri bisa saja membantu suami dalam menambah ekonomi keluarga. Jika memungkinkan carilah peluang pemasukan yang tidak banyak menyita waktu ke luar rumah, misalnya dengan menulis artikel dan buku; atau yang dapat membuka kesempatan untuk berinteraksi lebih banyak dengan masyarakat, seperti menjual busana Muslimah atau kebutuhan hidup sehari-hari di rumah; atau yang dapat menambah wawasan dan pengalaman dalam mendidik anak, misalnya dengan menggeluti bidang pendidikan anak. Yang jelas, semua itu tidak boleh melalaikan kewajibannya yang lainnya seperti mendidik anak ataupun berdakwah.
Ketiga: Dalam hal pemenuhan fungsi proteksi keluarga, seorang istri dapat mengkondisikan suasana rumah yang tenang, bersih dan tertata rapi agar menjadi tempat berlindung yang nyaman dan membuat betah para penghuninya. Rasulullah saw. memuji seorang istri yang pandai merapikan rumah dengan mengatakan, “Ia tidak memenuhi rumah kita dengan sarang burung.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Kepedulian dan kesabaran istri dalam menyikapi persoalan yang dihadapi anggota keluarga dapat menjadikan suami dan anak-anak ingin segera kembali ke rumah untuk menyampaikan setiap suka dan duka yang dihadapinya di luar rumah. Keluarga menjadi tempat yang paling aman dan menyenangkan secara fisik dan psikis bagi anggotanya untuk saling berbagi. Apalagi bagi anak-anak, sebab sangat riskan jika mereka mencari kenyamanan di tempat lain yang bisa jadi berbahaya bagi pergaulannya.
Keempat: Fungsi sosial keluarga ditandai dengan adanya interaksi keluarga dengan masyarakat. Keharmonisan dengan anggota masyarakat harus terus dijalin, sebagaimana keharmonisan antar anggota keluarga. Apalagi Allah Swt. telah menetapkan akhlak bertetangga, sebagaimana sabda Nabi saw. (yang artinya):
Hak tetangga adalah jika dia sakit, engkau mengunjunginya; jika dia wafat, engkau mengantarkan jenazahnya; jika dia membutuhkan uang, engkau meminjaminya; jika dia mengalami kemiskinan (kesukaran), engkau rahasiakan; jika dia memperoleh kebaikan, engkau ucapkan selamat kepadanya; dan jika dia mengalami musibah, engkau mendatanginya untuk menyampaikan rasa duka. Janganlah meninggikan bangunan rumahmu melebihi bangunan rumahnya sehingga menutup kelancaran angin baginya. Jangan kamu mengganggunya dengan bau periuk masakan kecuali kamu menciduk sebagian untuk diberikan kepadanya. (HR ath-Thabrani).
Alangkah mulia tuntunan ini jika diamalkan dalam keseharian, khususnya oleh seorang istri yang relatif lebih banyak waktu di rumah. Hubungan yang baik dengan tetangga juga sangat membantu untuk mewujudkan kepemimpinan dan lingkungan yang islami. Berbagai hal bisa dilakukan dalam menumbuhkan kegiatan-kegiatan yang kondusif bagi syiar Islam dan pendidikan anak, misalnya dengan mengadakan pengajian rutin di kalangan ibu-ibu, sanlat dan kajian keislaman untuk anak dan remaja, serta pengajian umum untuk keluarga pada momen-momen tertentu. Sebuah keluarga yang bisa diterima dalam masyarakat, secara tidak langsung akan memperkuat pula dorongan bagi anggotanya untuk melaksanakan amar makruf nahi mungkar terhadap lingkungan yang juga merupakan kewajiban bagi setiap Muslim.
Kelima: Adanya kasih sayang dan kehangatan di dalam keluarga merupakan hal yang sangat berpengaruh dalam menciptakan keharmonisan di dalam rumah tangga. Rasulullah mengajarkan hal yang demikian. Beliau bersabda, sebagaimana penuturan Anas ra., “Wahai anakku, jika kalian masuk menemui istrimu, ucapkanlah salam. Salammu itu menjadi berkah bagimu dan bagi penghuni rumahmu.” (HR at-Tirmidzi).
Dalam hadis lain, Ummul Mukminin Aisyah ra. Berkata, “Rasulullah adalah orang yang paling lunak hatinya, mudah tersenyum dan tertawa.” (HR Ibnu Saad).
Sebaliknya, seorang istri juga perlu selalu menyambut suami dengan menampakkan wajah berseri-seri dan memakai wewangian. Ketika bercakap-cakap, buatlah suasana santai dengan mendahulukan kabar yang menyenangkan dan disertai senda gurau. Sikap demikian akan membawa kesegaran bagi keduanya setelah seharian bergelut dengan kegiatan masing-masing. Ketika ada hal yang kurang berkenan, carilah waktu, tempat dan cara yang tepat untuk menyampaikannya. Tunjukkan bahwa penegur tidak berarti lebih baik dari yang ditegur. Adapun caranya sangat bergantung pada sifat suami, apakah lebih tepat disampaikan dalam bahasa yang jelas dan lugas atau dengan bahasa sindiran. Yang jelas semua dimaksudkan untuk kebaikan, tidak untuk menjatuhkan dan menunjukkan kekurangannya. Kalaupun ada kelemahan suami yang agak sulit diubah, hiburlah diri, dengan mengingat kebaikannya yang banyak, sebagaimana sabda Nabi saw., “Janganlah seorang Mukmin (suami) membenci Mukminah (istri). Jika ia membenci satu bagian, pasti ada bagian lain yang menyenangkannya.” (HR Muslim).
Tentu hadis ini berlaku sebaliknya. Kehangatan dan kasih sayang dalam keluarga juga meliputi hubungan antara orangtua dan anak. Biasakanlah memanggil anak dengan nama kesayangannya ataupun harapan yang baik, seperti anak salih, pintar, berani dan lain-lain. Ketika anak dikondisikan demikian, maka akan terbentuk konsep diri yang positif pada dirinya, sehingga anak termotivasi menjadi seperti yang diharapkan. Anak yang tumbuh dalam suasana keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang akan lebih percaya diri dalam menghadapi kehidupan di kemudian hari.
Keenam: Di tengah kesibukan anggota keluarga sehari-hari, penting untuk menyempatkan rekreasi bersama. Rekreasi tidak identik dengan wisata yang mengeluarkan biaya mahal, tetapi cukup dengan berkumpul di tempat yang santai, bersenda gurau bersama dan melepaskan segala rutinitas yang melelahkan. Kegiatan ini juga bisa dilakukan di rumah, misal dengan berkebun, olahraga, menonton tayangan, bermain air, bahkan sambil mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci atau mengepel. Intinya kegiatan ini dilakukan oleh seluruh anggota keluarga dalam suasana yang santai dan menyenangkan. Sesekali bisa saja diselipkan cerita lucu dan bermain tebak-tebakan. Seorang istri harus pandai memanfaatkan waktu, meskipun singkat, guna mengkondisikan kegiatan seperti ini. Kesegaran yang didapatkan, sangat membantu semuanya untuk kembali beraktivitas rutin di hari berikutnya.
Ketujuh: Hal yang tidak kalah pentingnya dalam keluarga adalah fungsi religius. Jika fungsi ini tidak terlaksana dengan baik, sebuah keluarga akan merasakan kegersangan batin, seberapapun tercukupi kebutuhan materi. Suasana ibadah dapat ditumbuhkan di tengah keluarga dengan terbiasa melakukan shalat berjamaah, tadarus bersama, shaum sunnah dan qiyamullail. Rasulullah saw. memuliakan suami istri yang terbiasa melakukan qiyamullail bersama, “Semoga Allah merahmati lelaki yang bangun malam, mengerjakan shalat dan membangunkan istrinya. Jika istrinya enggan bangun, ia memercikkan air di wajahnya. Semoga Allah merahmati seorang istri yang bangun malam, mengerjakan shalat dan membangunkan suaminya. Jika suaminya enggan, ia memercikkan air di wajahnya. (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).
Subhânallâh! Betapa indahnya kebersamaan seperti ini, apalagi jika dilakukan oleh seluruh anggota keluarga. Seorang istri dapat membiasakan hal seperti ini di tengah keluarganya agar keluarga tersebut menjadi keluarga yang selalu dekat dan bertakwa kepada Allah Swt. Dengan demikian, setiap cobaan dan ujian yang menimpa keluarga akan dapat dihadapi dengan sikap sabar dan tawakal kepada Allah Swt.

Khatimah
Demikian tuntunan yang dapat dilakukan seorang perempuan dengan perannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga untuk membawa keluarganya menjadi keluarga yang harmonis; sakînah mawaddah wa rahmah. Adanya kerjasama dengan suami akan sangat membantu tugas yang sangat berat ini.
Semoga Allah Swt. memberikan balasan atas setiap upaya yang kita lakukan dengan pahala yang berlipat ganda di sisi-Nya. Amin. (www.baitijannati.wordpress.com)
Sumber : Majalah Al Waie edisi Desember 2007

Diposting oleh taman2 pemkiran di 02.15 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Senin, 13 Desember 2010

Hukum Menjadi TKW di Luar Negeri

Tanya :
Ustadz, bagaimana hukumnya menjadi TKW di luar negeri?
Jawab :
TKW (Tenaga Kerja Wanita) adalah TKI (Tenaga Kerja Indonesia) perempuan warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. TKW sering disebut pahlawan devisa karena dalam setahun dapat menghasilkan devisa 60 triliun rupiah (data 2006).
Namun, berbagai masalah sering menimpa TKW baik di dalam maupun di luar negeri. Misal : pelecehan seksual, perkosaan, penganiayaan fisik (kekerasan), pembunuhan, pemotongan upah, dan pungutan liar oleh pejabat dan agen terkait.
Bahkan sepanjang tahun 2009-2010 saja, disebut-sebut hampir sekitar 4000 TKW menjadi korban penipuan, pemerasan, pelecehan seksual, kekerasan, hingga pembunuhan.
Menjadi TKW yang bekerja di luar negeri hukumnya haram, berdasarkan 2 (dua) alasan utama : Pertama, karena TKW telah bekerja di luar negeri tanpa disertai mahram atau suaminya. Padahal syara’ telah mengharamkan seorang perempuan muslimah melakukan perjalanan (safar) sehari semalam tanpa disertai mahram atau suami, meski untuk menunaikan ibadah haji yang wajib. (Imad Hasan Abul ‘Ainain; ‘Amal Al-Mar`ah fi Mizan Al-Syari’ah Al-Islamiyah, hal.42; M. Ali al-Bar, Amal Al-Mar`ah fi Al-Mizan, hal. 29; Riyadh Muhammad Al-Musaimiri; ‘Amal Al-Mar`ah Bayna Al-Masyru’ wa Al-Mamnu’, hal. 22; Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi Al-Islam, hal. 35).
Dalam masalah ini Imam Ibnu Qudamah menyatakan siapa saja perempuan yang tidak punya mahram dalam perjalanan haji, tidak wajib naik haji. (Al-Mughni, 5/30). Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW,”Tidak halal perempuan yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali disertai mahramnya.” (HR Bukhari no 1088; Muslim no 1339; Abu Dawud no 1723; Tirmidzi no 1170; Ibnu Majah no 2899; Ahmad no 7366).
Berdasarkan hadits ini, haram hukumnya menjadi TKW di luar negeri. Karena umumnya TKW tidak disertai mahram atau suaminya dalam perjalanannya ke luar negeri. TKW itu pun tetap dianggap musafir yang wajib disertai mahram atau suaminya, selama dia tinggal di luar negeri hingga dia kembali ke negeri asalnya (Indonesia). (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Al-Shalah, 2/337).
Kedua,menjadi TKW juga haram ditinjau dari segi lain, yaitu keberadaan TKW telah menjadi perantaraan munculnya berbagai hal yang diharamkan syara’. Misalnya, terjadinya pelecehan seksual, perkosaan, kekerasan, pembunuhan, pemotongan upah, dan pungutan liar. Semua ini telah diharamkan oleh syara’ berdasarkan dalilnya masing-masing. Maka, menjadi TKW hukumnya haram berdasarkan kaidah fiqih Al-Wasilah ila al-Haram Muharramah (segala perantaraan yang mengakibatkan terjadinya keharaman, hukumnya haram). (M. Shidqi Burnu, Mausu’ah Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, 12/199).
Atas dasar dua alasan ini, haram hukumnya menjadi TKW yang bekerja di luar negeri. Pengiriman TKW ke luar negeri pun wajib dihentikan, sesuai kaidah fiqih Al-Dharar yuzaal (segala macam bahaya wajib dihilangkan). (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa Al-Nazha`ir, hal. 83; M. Bakar Ismail, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Bayna Al-Ashalah wa Al-Taujih, hal. 99). Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 25 Nopember 2010
Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Diposting oleh taman2 pemkiran di 02.43 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Monarki, Demokrasi, dan Khilafah


Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi**
Polemik seputar keistimewaan DIY belum berakhir. Pemerintah melalui RUUK tetap ngotot menginginkan pemilihan Gubernur DIY seperti propinsi-propinsi lainnya. Sementara pihak Kraton Yogya dan umumnya masyarakat Yogya berkeras pada opsi penetapan , bukan pemilihan. Polemik ini semakin panas ketika SBY menyatakan sistem monarki tidak mungkin diterapkan, karena akan bertabrakan dengan nilai-nilai demokrasi (democratic values).
Beberapa catatan kritis menurut perspektif Islam perlu diberikan untuk fenomena ini. Pertama, seharusnya masing-masing pihak mempunyai satu rujukan yang sama untuk menyelesaikan perbedaan pendapat yang ada. Dalam Islam, setiap perselisihan wajib dikembalikan kepada rujukan wahyu, yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah (QS An-Nisaa` : 59).
Semestinya masing-masing pihak merujuk pada referensi ilahi itu. Namun nampaknya hal ini tidak terjadi. Kedua pihak justru mengembalikan persoalan ini bukan pada referensi Al-Qur`an dan As-Sunnah, melainkan pada referensi-referensi lain yang ilegal menurut kacamata hukum Islam. Partai Demokrat melalui Ruhut Sitompul mengatakan dasar sikap mereka adalah survei LSI yang menemukan 71 % masyarakat Yogya setuju pemilihan Gubernur DIY(pemilu kada). Sedang pihak yang pro penetapan, di antaranya Golkar, juga menyandarkan pada survei yang konon hasilnya 70 % masyarakat Yogya pro penetapan, bukan pemilihan. Masyarakat Yogya juga menyandarkan pada referensi sejarah. Khususnya ketika Kraton Yogyakarta menggabungkan diri dengan NKRI, yang imbal baliknya Sultan dan Paku Alam otomatis ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
Sesungguhnya, survei dan sejarah bukanlah rujukan normatif yang benar menurut Islam. Rujukan ini memang seakan-akan bernilai benar dengan sendirinya karena memang cara berpikir kita telah didominasi dan dikooptasi oleh perspektif Positivisme dalam filsafat hukum. Perspektif ini benar-benar telah merusak cara berpikir kita, karena ia mengajarkan bahwa hukum atau pranata hidup itu tidak perlu didasarkan pada agama (Al-Qur`an dan As-Sunnah), melainkan cukup pada fakta-fakta empiris dalam masyarakat. Esensi aliran Positivisme dalam filsafat hukum seperti kata H.L.A Hart adalah that laws are commands of human being (hukum adalah perintah dari manusia). (Prasetyo dan Barakatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, hal. 97).
Jadi hukum menurut prespektif ini adalah man made (buatan manusia). Dengan kata lain, hukum bukan berasal dari norma agama. Maka mengembalikan polemik keistimewaan DIY ini kepada argumen sejarah, atau argumen survei, atau argumen apa pun selain Al-Qur`an dan As-Sunnah, jelas merupakan kekeliruan metodologis yang parah.
Kedua,catatan berikutnya adalah mengenai pemilihan Gubernur. Dalam Islam, Gubernur (Wali) bukanlah hasil pilihan rakyat, melainkan diangkat oleh Kepala Negara (Khalifah). Dalam kitab-kitab hadits dan juga sirah dapat dibuktikan bahwa gubernur-gubernur dalam propinsi-propinsi pemerintahan Islam dulu, selalu diangkat oleh Rasulullah SAW sebagai kepala negara. Misalnya Muadz bin Jabal yang diangkat sebagai gubernur propinsi Yaman. Juga Ziyad bin Labid yang diangkat Rasulullah SAW sebagai gubernur propinsi Hadhramaut, serta Abu Musa Al-Asyari sebagai gubernur propinsi Zabid dan Aden. (Atha` bin Khalil, Ajhizah Daulah al-Khilafah, hal. 73).
Walhasil, jika diukur dengan timbangan Syariah Islam, pengangkatan gubernur itu hanyalah melalui pengangkatan oleh khalifah (kepala negara). Bukan lewat cara pemilihan (pemilu kada) oleh rakyat di propinsi yang bersangkutan, bukan pula melalui cara penetapan secara otomatis sebagai jabatan yang diwariskan secara turun temurun.
Ketiga,catatan ketiga adalah tentang pernyataan SBY bahwa sistem monarki bertabrakan dengan nilai-nilai demokrasi (democratic values). Ini pernyataan dangkal dan menunjukkan SBY kurang membaca literatur sejarah dan ilmu politik. Karena secara faktual tak selalu sistem monarki tak bisa dikawinkan dengan demokrasi. Bahkan untuk konteks propinsi DIY, pernyataan SBY memang boleh dikatakan ngawur. Mengapa demikian? Sebab sejak bergabung dengan NKRI, berakhir sudah sistem monarki Kerajaan (Kesultanan?) Yogyakarta Hadiningrat. Setelah itu, yang ada di DIY bukan sistem monarki melainkan propinsi yang mempunyai keistimewaan, yaitu Sultan dan Paku Alam otomatis ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Jadi yang ada ialah propinsi dengan sisa-sisa sistem monarki, khususnya dalam pengangkatan eksekutif, bukan sistem monarkinya itu sendiri. Karena sistem monarki adalah sebuah istilah teknis untuk bentuk negara, bukan bentuk propinsi. (Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Jakarta : Bumi Aksara, 1990, hal. 57-58; M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Medan : Mandar Maju, hal. 54-55).
Namun harus dikatakan, bahwa pengangkatan Khalifah (Imam) sebagai kepala negara dalam Islam bukanlah melalui sistem pewarisan, melainkan harus merupakan hasil pilihan umat. Itulah yang terjadi pada empat khalifah pertama dalam Islam, yang semuanya berkuasa setelah dipilih oleh umat.
Memang dalam sejarah Islam kekhilafahan didominasi oleh suatu dinasti (bani) tertentu untuk kurun waktu tertentu. Dikenallah kemudian Khilafah Bani Umayah, Khilafah Bani Abbasiyah, dan Khilafah Bani Utsmaniyah (yang berakhir 1924). Namun kejadian sejarah ini tidaklah mewakili ajaran Islam yang murni. Fakta sejarah ini justru menunjukkan terjadinya distorsi atau bias dalam implementasi Syariah Islam di bidang kekuasaan.
Namun penyimpangan ini tidak sampai menghapuskan secara total karakter bentuk pemerintahan Khilafah. Karena bagaimanapun juga khalifah-khalifah itu tetap dibaiat, bukan semata-mata mendapat kekuasaan secara turun temurun. Maka bentuk negaranya tetap sah sebagai Khilafah, hanya saja memang terpengaruh oleh salah satu unsur sistem monarki, yaitu pewarisan kekuasaan. Karena itu, Syaikh Hisyam Al-Badrani, seorang ulama Irak kontemporer, menyebut sistem pemerintahan pasca Khulafaur Rasyidin sebagai Al-Khilafah ala Minhaj Al-Mulk (Khilafah, tapi mengikuti metode monarki dalam pengangkatan penguasanya). (Hisyam Al-Badrani, an-Nizham al-Siyasi Bada Hadmi Al-Khilafah, hal. 12.(
Karenanya memang tidak bisa dipersalahkan sepenuhnya, ketika Mataram Islam sejak Sultan Agung (w. 1646) juga mencontoh model suksesi kepemimpinan secara turun temurun. Wong yang menjadi contoh saat itu (Khilafah Utsmaniyah) memang sudah keliru dalam praktik pengangkatan Khalifah. Sejarah mencatat, pada sekitar tahun 1640 Sultan Agung telah menjalin hubungan internasional dengan Khilafah Utsmaniyah melalui Syarif Makkah (gubernur untuk wilayah Makkah dan sekitarnya). Hasilnya adalah gelar Sultan yang kemudian secara resmi disematkan di depan namanya. (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Moderen 1500-2004, Jakarta : Serambi, 2005, hal. 111; Musyrifa Sunanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007, hal. 147).
Kami katakan tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya, karena sistem pewarisan tahta turun temurun yang diadopsi oleh Mataram saat itu, telah mengambil model yang salah dan terdistorsi dari Khilafah Utsmaniyah. Atau bisa jadi pewarisan tahta itu sekedar meneruskan apa yang dianggap lumrah sejak era sebelumnya, misalnya sejak jaman Kesultanan Demak dan Pajang yang menjadi cikal-bakal Mataram. Jadi pengambilan cara pewarisan tahta ini barangkali terjadi di luar kesengajaan, karena saat itu memang tak ada model ideal yang betul-betul mencerminkan ajaran Islam yang murni.
Namun tegas kami nyatakan, kesalahan semacam itu tak boleh lagi diterus-teruskan. Yang sudah ya sudah. Semoga Allah SWT mengampuni kesalahan kita. Namun untuk ke depan, sesuai ajaran Islam, pemimpin haruslah hasil pilihan rakyat, bukan terangkat secara otomatis secara turun temurun.
Keempat, catatan terakhir, kami ingin menegaskan demokrasi tidak selalu identik dengan pemilihan pemimpin oleh rakyat. Maka dari itu, ketika kami menyatakan bahwa bahwa pemimpin haruslah dipilih oleh rakyat, bukan berarti kami setuju dengan demokrasi.
Mengapa demikian? Sebab esensi demokrasi sebenarnya bukan pada prinsip pemimpin adalah pilihan rakyat, melainkan pada prinsip bahwa peraturan itu adalah buatan manusia (kedaulatan rakyat). Dalam pandangan Islam, haram hukumnya manusia membuat sendiri hukum atau aturan hidup. Hanya Allah saja yang berhak menetapkan hukum (QS Al-Anaam : 57).
Jadi, Islam tidak menyalahkan demokrasi jika yang dimaksud adalah pemimpin merupakan hasil pilihan rakyat. Namun Islam juga tidak membenarkan prinsip itu sepenuhnya. Sebab meski pemimpin dipilih oleh rakyat, dalam demokrasi pemimpin pilihan rakyat itu akan menjalankan hukum buatan manusia. Sedang dalam Islam, pemimpin pilihan rakyat itu hanya menjalankan hukum Syariat Islam, bukan hukum buatan manusia.
Maka dari itu, jelas sekali SBY nampak dangkal ketika mempertentangkan monarki dengan demokrasi dalam konteks pemilihan gubernur DIY. Pendirian SBY itu mengisyaratkan bahwa esensi demokrasi dalam pikirannya hanyalah pemilihan, yakni pemimpin hendaknya hasil pilihan rakyat. Padahal, kalaupun itu dikatakan bagian demokrasi, sifatnya hanya prinsip sekunder saja dan bukan ide khas demokrasi. Prinsip primer dan ide khas dalam demokrasi justru adalah memberikan otoritas kepada manusia (bukan kepada Tuhan) hak membuat hukum. Inilah prinsip primer demokrasi yang justru terabaikan oleh SBY.
Kesimpulannya, memang sulit bagi muslim untuk menyikapi polemik keistimewaan DIY sekarang ini. Penetapan atau pemilihan, bukanlah pilihan-pilihan yang benar. Namun yang jelas, Islam mengatakan tidak untuk pemilihan (pemilu kada), karena gubernur dalam pandangan Islam bukan hasil pilihan rakyat, melainkan diangkat oleh kepala negara (khalifah). Islam juga mengatakan tidak untuk penetapan, karena Islam tidak mengenal proses pewarisan kekuasaan yang turun temurun. Islam juga mengatakan tidak untuk demokrasi, karena demokrasi memaksakan sebuah prinsip yang fatal sekali kekeliruannya menurut Islam, yaitu manusia diberi hak membuat hukum.
Yang benar, seorang gubernur (wali) dalam Islam itu diangkat oleh Khalifah (kepala negara), bukan dipilih oleh rakyat. Dan proses ini tentu harus dijalankan dalam bentuk negara yang benar sesuai ajaran Islam, yaitu sistem Khilafah, bukan sistem republik (demokrasi) seperti yang ada sekarang. Wallahu alam.
* Makalah disampaikan dalam Dirasah Islamiyah, diselenggarakan oleh HTI Chapter Kampus Hamfara bekerja sama dengan Ma’had Hamfara Yogyakarta, di Masjid Hamfara, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Jumat 10 Desember 2010.
Diposting oleh taman2 pemkiran di 02.37 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Inilah Bualan Toleransi dan HAM, Muslimah Berjilbab Dilarang Bekerja Di Negeri Ini!

Syabab.Com - Sekali lagi, HAM, kebebasan, dan toleransi hanya bualan belaka. Memakai jilbab bagi seorang Muslimah adalah kewajiban bukan sebatas pilihan. Sudah selayaknya seorang Muslimah memilih untuk menaati aturan Allah Swt itu. Tetapi lagi-lagi banyak pihak tidak menghormatinya. Seorang muslimah yang memilih untuk menaati Allah dalam menutup aurat, malah dilarang untuk bekerja. Sampai kapan? Baru-baru ini, gara-gara mengenakan kerudung (khimar) sebagai salah satu pakaian muslimah, Ayudia Satta dirumahkan sehari setelah ia mulai memakai penutup aurat tersebut.

Sejak Juli lalu, status pekerjaannya tak jelas setelah dia memutuskan untuk mengenakan jilbab. Ia sudah bekerja 4 tahun di Blitz Megaplex. Jabatan terakhirnya sebagai Penyelia Operasional, yaitu mengawasi bagian kerja operasional, termasuk bagian tiket dan makanan.

Tanpa kejelasan, Ayud dirumahkan selama 2 bulan, sehari setelah ia menggunakan jilbab. Setelah itu ia dipanggil ke kantor dan diminta memilih: lepas jilbab atau berhenti bekerja.

"Dari mereka bilang kita kasih waktu seminggu, hari Senin kamu harus kasih jawabab. Ya udah, akhirnya saya berpikir saya tidak mau memperpanjang," katanya.

Hidup mendadak berubah bagi Ayud yang kini berusia 30 tahun. Blitz adalah pekerjaan keempat Ayud setelah lulus kuliah pada 2004 lalu. Tahun ini, untuk kali pertama dalam hidupnya, Ayud harus berurusan dengan hukum dan pengacara.

"Saya tetap tidak mau melepas jilbab. Makanya saya mengadu ke LBH. Saya juga sudah pikir panjang, jadi ya sudah hajar saja. Akhirnya saya ketemu dengan pihak pengacara, akhirnya mereka yang langsung berhubungan dengan perusahaan," ungkap Ayud.

Menurut pihak LBH, ada dua hak Ayud yang dilanggar oleh perusahaan, yaitu: dia hak beragamanya dan hak perburuhannya.

Menurut Komisioner Komnas HAM, Johnny Nelson kasus pelarangan berjilbab seperti yang dialami Ayud, bukan satu-satunya contoh belum terjaminnya kebebasan beragama di tempat kerja.

Kepala Dinas Tenaga Kerja Jakarta, Deded Sukendar mengatakan, baru bisa turun tangan kalau ada pengaduan.

"Dalam undang-undang no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan sangat menjamin kebebasan beragama, karena undang-undang itu kan mengacu pada undang-undang dasar yang juga menjamin kebebasan beragama," jelas Deded.

Kasus Ayud terus berlanjut, menunggu pertemuan Ayud dan Blitzmegaplex yang dimediasi oleh Komnas HAM. Status Ayu masih terkatung-katung.

"Saya mau kerja, tapi tetap dengan hak saya pakai jilbab. Tapi kalau perusahaan tidak berkenan, pecat saja saya, tapi penuhi juga hak-hak saya, seperti uang pesangon dan lain-lain." kata Ayud.
Muslimah Berdiri untuk Islam

Banyak lagi kasus serupa yang menunjukkan bahwa HAM, kebebasan dan toleransi hanya omong kosong belaka. Ayudia hanya salah seorang dari sekian banyak yang dipaksa melepas kerudungnya di tempat kerja.

Beruntung, Ayudia berada pada pilihan yang tepat dan berani untuk tetap mempertahankan ketaatannya kepada agamanya. Bagaimana dengan ribuan Muslimah lainnya yang mungkin takut dengan ancaman tak bekerja, malah memilih untuk melepaskan kerudung, gara-gara berbenturan dengan aturan.

Sebenarnya pemaksaan untuk melepaskan jilbab bukan hanya di tempat kerja saja. Terkadang kaum Muslimah sudah diajarkan untuk melepaskan kewajiban menutup aurat tersebut sejak dini. Di sekolah misalnya, atas nama keseragaman, beberapa kegiatan ekstrakurikuler dapat memaksa para siswi muslimah melepaskan kerudungnya.

Di dalam olahraga, seperti volley atau basket bagi perempuan, memaksa pelajar Muslimah mengumbar aurat tanpa rasa malu lagi. Ada juga, pelajar yang dilarang sekolah gara-gara ingin mengenakan pakaian hijab (jilbab sempurna). Tentu saja ini bukan saja pelanggaran terhadap hak beragama tapi juga merupakan bentuk penghinaan terhadap Islam.
Jadi sangat jelas, HAM itu adalah hak-hak para pelaku kemaksiyatan homoseksual dan pornografi … Adapun jika masalahnya terkait dengan keterikatan seorang muslim terhadap agamanya, memakai kerudung atau niqab (cadar) oleh muslimah, atau bangunan menara masjid, … maka hak-hak itu ditolak dan diperangi dengan keras!

Jika demikian adanya, masihkan kaum Muslim berdiam diri terhadap segala bentuk penindasan yang memaksa kaum Muslimah melepaskan penutup aurat mereka? Sudah saatnya, kaum Muslim bangkit dan beridiri untuk Islam, menjadikan keimanan dan ketaqwaan berada di atas segala-galanya.

Berbagai pihak, termasuk para pemegang kebijakan sudah semestinya mulai takut kepada Allah Swt. semata, karena kelak Dia pasti akan memintai pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan kita di dunia. Sudah saatnya, semua kembali kepada Islam, sebuah dien yang berasal dari Tuhan Yang Mahakuasa yang akan memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Di dalam sistem Khilafah, tentu Islam akan memuliakan perempuan dan mengangkat derajatnya pada posisi yang tinggi. Ini sangat berbeda dengan sistem sekuler dan liberalisme hari ini yang telah menjadikan perempuan sebagai komoditas. Khilafah insya Allah akan menyelamatkan para perempuan dari cengkraman liberalisme! [m/r/nrw/syabab.com]
Diposting oleh taman2 pemkiran di 02.24 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Andai Saja Hukum Syariah Ditegakkan Di Seluruh Negeri, Tentu Perbuatan Nista itu Tidak Akan Ada Lagi!

Syabab.Com - Andai saja Khilafah yang akan menyatukan kaum Muslim sedunia itu ada saat ini, tentu kaum Muslim tidak akan mendengar lagi berita perbuatan nista yang kian hari semakin marak, seperti pergaulan bebas, perzinaan dan perselingkuhan. Khilafah akan menerapkan hukum syariah secara kaaffah di dalam setiap aspek kehidupan, termasuk akan memberikan hukuman tegas bagi para pelaku kerusakkan. Anis Saputra (24) dan Kiki Hanafilia (17) dihukum cambuk masing-masing delapan kali di halaman Mesjid Al Munawarah, Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Jumat (10/12), karena terbukti melakukan pelanggaran syariat Islam khususnya tentang khalwat atau mesum.

Kedua pasangan mesum yang sama-sama sudah menikah itu dieksekusi di depan ratusan warga Jantho, setelah Mahkamah Syariyah Jantho, memutuskan keduanya melanggar pasal 22 ayat 1 junto pasal 5 Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat.

Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jantho, Deby Rinaldi mengatakan, keduanya diputuskan masing-masing delapan kali cambuk, dan yang memberatkan keduanya adalah sama-sama sudah menikah.

“Yang laki-laki, Anis sudah punya isteri yang saat ini hamil tujuh bulan dan tinggal di Kabupaten Aceh Timur. Sedangkan yang perempuan juga sudah punya suami,” katanya.

Keduanya dibawa ke lokasi eksekusi menggunakan mobil tahanan milik kejaksaan, kemudian dinaikkan ke panggung eksekusi dengan dikawal ketat oleh aparat Wilayatul Hisbah (polisi syariat). Usai dicambuk, keduanya dibawa kembali ke Kejari Jantho bersama tim medis untuk melakukan pemeriksaan kesehatannya.

Meski sempat meringis kesakitan saat dirotan oleh algojo, Anis dan pasangan selingkuhnya itu terlihat tegar usai menjalani eksekusi. Kepala Satpol PP dan WH Aceh Besar, Rusli mengatakan, eksekusi cambuk digelar untuk keempat kalinya sepanjang 2010 di daerahnya itu, agar menjadikan pelajaran bagi warga lainnya untuk tidak melanggar syariat Islam.

Dia menjelaskan, kedua terhukum cambuk, Anis asal Kabupaten Aceh Jaya dan Kiki asal Aceh Besar, tertangkap oleh warga saat melakukan perbuatan mesum di kawasan hutan Tanoh Anoe, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, pada Jumat malam, 22 Oktober 2010.

Berdasarkan berita dakwaan, mesum itu berawal dari keduanya pergi jalan-jalan sore dengan berboncengan sepeda motor, menelusuri kawasan sekitar perbukitan di Lhoong. Perbuatan mesum kedua pasangan selingkuh itu awalnya diketahui oleh seorang warga yang sedang memancing di sungai sekitar hutan tersebut.

Warga tersebut selanjutnya melaporkannya kepada Tuha Peut Gampong. Kemudian, sejumlah warga pun berbondong ke lokasi dan memergoki kedua insan berlainan jenis itu sedang berciuman dengan kondisi pakaian pelaku perempuan setengah telanjang.

Dalam berita dakwaan keduanya mengaku saat ditangkap keduanya sedang berciuman dan belum sempat melakukan hubungan badan. Warga selanjutnya menyerahkan pasangan mesum itu ke Polsek Lhoong dan dilanjutkan ke Kejari Jantho sebelum diputuskan bersalah oleh Mahkamah Syariat.

Pelaksanaan syariah di Aceh hanya sebagian kecil saja upaya penerapan syariah yang mampu mengerem kerusakkan moral yang kini marak akibat liberalisme. Hukuman syariah memberikan pelajaran tegas dan didasari ketaqwaan. Bukan saja dapat membuat jera, tetapi juga sebagai penebus dosa, bila hal itu dilaksanakan penuh keikhlasan dan ketaqwaan.
Hanya disayangkan, karena kebodohan dan ketakutan para pembenci Islam, sebagian besar umat ini telah dibodohi sehingga tak mengenal lagi aturan syariah secara sempurna yang ternyata memberukan solusi ampuh atas berbagai problematika umat hari ini. Di manakah kaum Muslim mengenal aturan tentang hukuman rajam atau cambuk bagi para pelaku zina? Sementara generasi negeri ini telah dijauhkan dari Islam, kalaupun ada hanya dikenalkan sebatas ritual belaka.
Sebut saja, bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran yang semestinya dapat dipahami oleh umat, tidak diajarkan di sekolah-sekolah umum kecuali hanya untuk sebagian kaum Muslim di Pesantren atau Madrasah. Itu pun sangat terbatas. Bandingkan dengan Bahasa Inggris mendapatkan porsi lebih dibandingkan dengan Bahasa Arab. Wajar, jika umat ini tidak memahami aturan agamanya sendiri, karena adanya upaya 'pembodohan'.

Andaikan saja, hukum syariah ditegakkan di seluruh negeri, tentu kaum Muslim tidak akan lagi mendengar perusakkan generasi seperti perzinaan dan pergaulan bebas lainnya. Hari ini, kaum Muslim banyak mengabaikan hukum syariah, walhasil akibatnya kerusakan demi kerusakan terjadi. 

Sudah saatnya umat berdiri untuk Islam. Rakyat negeri ini membutuhkan solusi atas berbagai problematika akibat pengabaian terhadap aturan-aturan Allah Swt. Solusi tersebut tiada lain dengan kembali kepada syariah dan khilafah, niscara negeri ini akan aman, sentosa serta berada dalam kerbekahan Allah Swt. Insya Allah, rakyat negeri ini merindukannya. [m/ant/serambinews/syabab.com]
Diposting oleh taman2 pemkiran di 02.15 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Jilbab, Lambang Kebebasan Hakiki

Oleh Asri Supatmiati
Hari gini jilbab masih saja digugat. Beberapa negara di dunia, masih memberlakukan larangan jilbab. Seperti di Turki, Jerman, Perancis, Italia, dll. Katanya negara liberal yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, tapi muslimahnya tidak dibebaskan berjilbab. Padahal itu merupakan hak muslimah untuk taat kepada Rabb-nya. Ironi.
Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya muslim, jilbab sudah menjadi pemandangan biasa. Namun anehnya, masih juga ada yang berani mengusik. Terbaru, datang dari Human Rights Watch (HRW) yang melontarkan tudingan, bahwa Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Daerah Istimewa Aceh tentang Pelarangan Khalwat dan Kewajiban Mengenakan Pakaian Muslimah bagi warga Muslim di Aceh merupakan aturan yang melanggar HAM. HRW pun mengopinikan agar perda itu dicabut atau diamandemen.

Kebebasan Hakiki
Di Indonesia, jilbab sudah menjadi pemandangan biasa. Bukan semata-mata sebagai negara berpenduduk muslim terbesar bila jilbab begitu mudah dikenakan di negeri ini, lebih karena meningkatnya kesadaran kaum muslimah akan ketakwaan.
Jilbab adalah identitas kebanggaan muslimah shalehah. Mereka yang istiqomah mengenakan pakaian takwa ini, bebas beraktivitas di ruang publik tanpa halangan. Belanja, ke salon, tamasya, kuliah, bekerja dan bahkan berenang tetap bisa dilakukan. Termasuk menyopir mobil sendiri atau mengendarai motor, sudah biasa dilakukan muslimah berjilbab.
Perempuan berjilbab inipun berasal dari berbagai kalangan dan profesi. Bahkan di antara mereka, banyak yang bergelar doktor, dokter, pakar, insinyur, dan gelar akademik membanggakan lainnya. Mereka golongan cendekia yang cerdas, kritis dan kiprahnya diakui bermanfaat di tengah-tengah masyarakat.
Mereka bukan perempuan kolot dan bodoh, yang terpaksa menyembunyikan keindahan tubuhnya karena dominasi laki-laki, sebagaimana tudingan Barat. Mereka tidak merasa terbelenggu dengan berjilbab. Justru, mereka bangga dengan jilbabnya.
Jilbab merupakan lambang “kebebasan” hakiki seorang perempuan. Ya, dengan jilbab, perempuan tidak dipusingkan oleh urusan penampilan. Sebab, jilbab bisa dikenakan kapan sana dan di mana saja, setiap waktu dan dalam setiap kesempatan. Tidak lekang oleh zaman. Tidak usang oleh perkembangan mode. Dengan jilbab, tidak ada istilah saltum alias salah kostum, karena jilbab bersifat universal.
Berbeda dengan pakaian ala Barat, serba beda dalam setiap suasana. Pakaian pesta, santai, jalan-jalan dan bahkan tidur harus berbeda.  Tanpa jilbab, justru kaum perempuan “terpenjara” oleh trend fashion yang selalu berubah dengan cepat.
Demi predikat fashionable, perempuan umumnya harus selalu mengikuti trend. Perempuan seperti ini membelanjakan sebagian besar isi dompetnya untuk membeli baju model terbaru, kosmetik, pewangi dan aksesoris lainnya. Mereka juga menghabiskan sebagian umurnya di depan cermin demi sebuah predikat: cantik.
Tak cukup itu, perempuan yang mengklaim modern dan trendy ini selalu sibuk memikirkan pendapat orang lain. Apakah orang suka dengan penampilanku, akankah pujian atau celaan yang akan kuterima, apakah aku cantik dan serasi atau tidak. Inilah tembok penjara kapitalis yang hakikatnya justru mengungkung kaum perempuan. Kelihatannya mereka bebas berkeliaran di ruang publik dengan busana apapun yang mereka mau, tapi sesungguhnya pola pikirnya dijajah streotype “cantik” oleh industri kecantikan yang jahat.
Pembangnun Peradaban
Terlepas dari fenomena di atas, kita harus mengakui kontribusi perempuan berjilbab di seluruh dunia. Merekalah peletak dasar lahirnya generasi dan pembangun peradaban.
Bila perempuan berpenampilan serba terbuka ala Barat lebih banyak menjadi gula-gula dalam peradaban sekuler, perempuan muslimah yang menjaga kehormatannya memiliki peran sentral bagi kemajuan bangsanya. Ialah pelahir generasi penerus, pendidik utama dan pertama anak-anaknya.
Bila perempuan ala Barat yang berkiprah di publik, lebih mengandalkan kemolekan tubuh dan kecantikan rupanya; perempuan muslimah berkiprah memberi maslahat umat bermodal kecerdasan dan keterampilannya.  Sebagaimana ketika baginda Rasulullah SAW berhasil menancapkan dahwah dan jihadnya, disupport penuh ibunda Siti Khadijah.
Begitu pula Nur Jehan, yang namanya diabadikan dengan bangunan Taj Mahal di India sebagai bukti kecintaan rakyat atas kiprahnya. Juga ibunda Imam Syafi’i, yang menjadi pendidik utama hingga ulama besar itu menjadi ‘orang.’ Belum lagi para syahidah, pejuang Islam yang menggoreskan tinta emas dalam sejarah panjang peradaban dunia.
Timbangan Syariat
Berbicara soal jilbab, Islam memang sudah mengaturnya dengan jelas. Kaum perempuan wajib mengenakannya tanpa reserve. Karena itu, larangan jilbab tak akan menyurutkan niat para muslimah shalehah itu untuk mengenakannya. Mereka jauh lebih takut kepada Allah SWT dibanding takut kepada penguasa laknatullah.
Bagaimana kaum muslimah bisa seteguh itu memegang prinsipnya? Ini karena Islam sudah mengatur, bahwa pakaian bukan sekadar penutup malu, lambang kepribadian atau pemanis penampilan. Pakaian adalah identitas ketakwaan. Karena itu, pakaian sudah didesain Allah SWT sebagai panduan bagi mereka yang mengaku bertakwa.
Bagi muslimah, kewajiban berpakaian takwa dimulai dari kewajiban menutup aurat. Jumhur ulama tidak berbeda mengenai status hukum, bahwa hukum menutup aurat adalah wajib, dimana batasan aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Sabda Rasulullah SAW:
“Tidak dibenarkan bagi seorang wanita yang percaya kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua tangannya kecuali sampai di sini (nabi kemudian memegang setengah dari tangannya)” (HR ath Thabari).
Nah, untuk menutup tubuh ini, diperintahkan mengenakan jilbab (QS Al Ahzab [33]: 59) dan kerudung/khimar (QS An Nur [24]: 31).
Surat Al Ahzab ayat 59 berbunyi:
يٰأَيُّهَا النَّبِىُّ قُل لِأَزوٰجِكَ وَبَناتِكَ وَنِساءِ المُؤمِنينَ يُدنينَ عَلَيهِنَّ مِن جَلٰبيبِهِنَّ ۚ ذٰلِكَ أَدنىٰ أَن يُعرَفنَ فَلا يُؤذَينَ ۗ وَكانَ اللَّهُ غَفورًا رَحيمًا
Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak diganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Surat An Nur ayat 31
وَقُل لِلمُؤمِنٰتِ يَغضُضنَ مِن أَبصٰرِهِنَّ وَيَحفَظنَ فُروجَهُنَّ وَلا يُبدينَ زينَتَهُنَّ إِلّا ما ظَهَرَ مِنها ۖ وَليَضرِبنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلىٰ جُيوبِهِنَّ ۖ وَلا يُبدينَ زينَتَهُنَّ إِلّا لِبُعولَتِهِنَّ أَو ءابائِهِنَّ أَو ءاباءِ بُعولَتِهِنَّ أَو أَبنائِهِنَّ أَو أَبناءِ بُعولَتِهِنَّ أَو إِخوٰنِهِنَّ أَو بَنى إِخوٰنِهِنَّ أَو بَنى أَخَوٰتِهِنَّ أَو نِسائِهِنَّ أَو ما مَلَكَت أَيمٰنُهُنَّ أَوِ التّٰبِعينَ غَيرِ أُولِى الإِربَةِ مِنَ الرِّجالِ أَوِ الطِّفلِ الَّذينَ لَم يَظهَروا عَلىٰ عَورٰتِ النِّساءِ ۖ وَلا يَضرِبنَ بِأَرجُلِهِنَّ لِيُعلَمَ ما يُخفينَ مِن زينَتِهِنَّ ۚ وَتوبوا إِلَى اللَّهِ جَميعًا أَيُّهَ المُؤمِنونَ لَعَلَّكُم تُفلِحونَ
Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Jilbab adalah pakaian luas semacam baju kurung yang menutupi seluruh tubuh dari leher, dada, tangan  sampai kaki  dan kerudung untuk menutup kepala, leher sampai dengan dada.
Jilbab merupakan pakaian wanita pada kehidupan umum/keluar rumah: pasar, jalan dsb. Jilbab merupakan pakaian longgar yang menutupi pakaian keseharian wanita di rumah. Hal ini bisa difahami dari hadits Ummu ‘Athiyah ra.
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا[5]
artinya: dari ummu athiyah berkata: Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami untuk keluar pada hari fithri dan adha, baik gadis yang menginjak akil baligh, wanita-wanita yang sedang haid maupun wanita-wanita pingitan. wanita yang sedang haid tetap meningggalkan shalat, namun mereka dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslim . Aku bertanya, “wahai rasulullah salah seorang diantara kami ada yang tidak memiliki jilbab?” rasulullah saw menjawab: hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya (HR. Muslim).
Makna hadits ini, ada perempuan yang di rumah mengenakan pakaian biasa, tapi tidak punya jilbab untuk keluar rumah. sebab tidak mungkin perempuan itu sama sekali tidak berpakaian di dalam rumahnya. hanya saja, pakaian sehari-harinya di rumah bukan berupa jilbab, sebagai syarat untuk bisa keluar ke ruang publik.

Khatimah
Dengan uraian di atas, tak ada gunanya melarang jilbab. Upaya menghalangi ketakwaan kaum muslimah hanya akan sia-sia. Apalagi larangan itu didengungkan segelintir manusia.(*)


Asri Supatmiati, S.Si,
Jurnalis, penulis buku-buku islam.

Diposting oleh taman2 pemkiran di 02.04 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Langganan: Komentar (Atom)

Pengikut

Arsip Blog

  • ▼  2010 (25)
    • ▼  Desember (25)
      • Mari Bersyukur Setiap Waktu
      • Aborsi dan Seks Bebas Bakal Jadi Masalah Kesehatan...
      • Ruu Intelijen 2010: Bentuk Tirani Baru?
      • Republik Bola dan Berhala Nasionalisme
      • Sikap Berlebihan Sebagian Umat Islam Terhadap Nata...
      • Tahun Baru: Budaya Kufur dan Sampah!
      • Mengoptimalkan Peran Ibu Rumah Tangga
      • Hukum Menjadi TKW di Luar Negeri
      • Monarki, Demokrasi, dan Khilafah
      • Inilah Bualan Toleransi dan HAM, Muslimah Berjilba...
      • Andai Saja Hukum Syariah Ditegakkan Di Seluruh Neg...
      • Jilbab, Lambang Kebebasan Hakiki
      • Wali Tidak Mau Menikahkan , Bolehkan Nikah Dengan ...
      • Mensos: Anggaran Pengentasan Masalah Sosial Relati...
      • Jubir HTI : Berantas Korupsi dengan Syariah Bernil...
      • Waspada, Angka Kemiskinan Capai 13,3 Persen!
      • Trend Memeluk Islam di Inggris dan Mitos Penindasa...
      • Survei: Mayoritas Responden Dukung Peran Islam dal...
      • Jika Pelajarnya Baik, Kita Tak akan Kekurangan Pem...
      • Hizbut Tahrir Kecam Sikap Hamas: Palestina Bukan M...
      • Astaghfirullah, Bukannya Bertobat Malah Bagi-bagi ...
      • Kebangkrutan Kapitalisme: Pengangguran di AS Menca...
      • Sebelum Piala Dunia 2022, Qatar Telah Menjadi Bagi...
      • Israel Tembak 91 Pemulung Gaza
      • Pemprov DKI Jakarta Bebankan Pajak 10% pada Warung...

Mengenai Saya

Foto saya
taman2 pemkiran
Lihat profil lengkapku
Tema Perjalanan. Diberdayakan oleh Blogger.